Ujian
Nasional Hanya Menjadi Beban Nasional
Education is very important for all countries
in this world especially Indonesia. However, There is something wrong in our
education system. That is National Examination, which is use to know the
ability of students but it abused to do negative things, for instance cheating
during the test, teacher who educated people and should teach a good thing but
one of them help the students to cheat. On the other hand, national examination
in 2012 delayed because of the tasks were not completed. Yet, in some regions, students do that examintaion in the evening. How could it be?
National Examination is not the best way to
know the ability of students. We can see the other countries which is have a
good education system, for example USA. Students over there have a good
responsibilty to get education, they believe that score is not everything, what
they can get from education is the first attention for them.
Examination which is held in national scale is not suitanble, because
students and teachers only focused how to get a good score. In our law, that is
clear what is the purpose of education, one of them we have a good moral. The
question for it, Do we do not do anything when national examination are abused by
some students? Moreover, in some regions, teachers help the students to get the
answer of national examination by sent a message. National examination should
be abolish, because it is not sustainable for our country. There are billion
ways to know the ability of students, and the important thing that we should remember,
Score is not everything, but how to applicate the education that we got is the
first thing that we should give attention.
Pendidikan
menjadi suatu hal yang penting bagi kemajuan Indonesia baik dibidang
intelektual maupun moral, namun saat Ujian Nasional yang dicanangkan pemerintah
menjadi ajang untuk mencetak generasi yang tidak jujur mau dibuat apa negara
kita ini kedepan?
Banyaknya
praktek mencontek, kebocoran kunci jawaban serta pembiaran ketidak jujuran saat
ujian berlangsung menjadi akar budaya yang bermasalah, bahkan disalah satu
acara talk show ternama di Indonesia, guru yang memperjuangkan kejujuran
dibenci oleh kepala sekolah dan dimutasi dengan alsan yang mengada-ngada,
selain itu oknum guru yang mencanangkan kepada siswanya untuk mencontek saat
ujian berlangsung, membuat pikiran kita ini bertanya suatu hal, mengapa negara
kita yang luar biasa ini harus ternodai dengan ketidak jujuran.
Kemungkinan
koruptor handal terlahir dari kesuksesan mereka berlaku tidak jujur saat Ujian
Nasional berlangsung. Selain itu hal yang paling ironis yang bisa kita ketahui
yaitu saat pemerintah mensosialisasikan character building, namun beberapa
oknum guru di daerah terlibat langsung untuk membantu muridnya mencontek.
Sebenarnya siapakah yang perlu ditanamkan character building, murid atau guru,
masih menjadi tanda Tanya bagi kemajuan pendidikan kita.
Dilain
sisi adanya ujian ini membuat murid berorientasi belajar untuk mendapatkan
nilai, bukan untuk mendapatkan kepahaman atas materi yang didapatkan dan
diaplikasikan di kehidupan sehari-hari. Mari lihat negara lain yang
maju tanpa ada Ujian Nasional, seperti Amerika yang kuat dan tetap menjadi
negara super power tanpa adanya ujian yang diadakan tahunan dan berskala
nasional ini, tampaknya Ujian Nasional bukanlah jalan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan pemerintah perlu mencari jalan lain guna mengembangkan
intelektual masyarakat kita kelak yang berbasiskan karakter serta tidak hanya
teori namun juga aplikasi yang nyata.
Mari
kita lihat pendidikan berdasarkan perpektif dibidang hukum:
Dalam
pasal 1 Bab 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan:
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pertanyaan yang bisa kita ajukan dengan bagian hukum
yang ditebali diatas yaitu:
Apakah dengan adanya Ujian Naisonal bisa menciptakan
murid yang memiliki spiritual kegamaan?
Padahal sesuai fakta, murid yang tidak mencoteki dibenci oleh temannya,
bahkan beberapa oknum guru menyuruh siswa siswi yang pandai untuk menconteki siswa lain. Inikah potret
pendidikan kita? Baik oknum guru maupun oknum murid dapat bekerjasama untuk
mendapatkan nilai yang baik dengan cara yang “haram”.
Bagaimana mungkin seseorang murid memiliki kepribadian
yang baik jika sistem pendidikan kita diimbangi dengan sebuah kultur budaya
mencontek ataupun koordinasi “hitam” menjelang Ujian Nasional?
Kecerdasan dan akhlak mulia diperoleh dari
pendidikan yang berproses bukan berasal dari ujian yang ditempuh hanya beberapa
hari saja. Mungkinkah siswa cerdas ditentukan hanya menjawab 50 soal saja?
Sedangkan yang kita ketahui terdapat berbagai macam kecerdasan, seperti
kecerdasan intelektual, kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual dan masih
banyak yang lain. Apakah dengan tiga hari disertai soal yang hanya terbatas
untuk intelektual saja bisa menunjukkan indikator siswa tersebut cerdas? Sangat
terburu-buru jika kita menjadikan hasil ujian nasional sebagai penunjuk murid
berprestasi.
Dalam
pasal 3 bab 2 UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas dijelaskan fungsi
pendidikan nasional sebagai berikut:
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Mengembangkan
kemampuan peserta didik yang diuji dengan sebuah ujian nasional tidak bisa
menjadi pertanggungjawaban yang jelas, karena kemampuan memerlukan waktu untuk
bisa menjadi keahlian dan untuk mengembangkannya tidak bisa diuji hanya dengan
beberapa soal pilihan ganda saja. Bukankah sudah jelas bahwa pendidikan
membutuhkan suatu tindakan aplikatif yang nyata. Bagaimana dengan ujian yang
didewa-dewakan sekarang? Bukankah sudah jelas bahwa ujian tersebut hanya
sebatas pertanyaan yang berorientasi kepada teori belaka, dan tidak mengarahkan
siswa kepada jenis analisis?
Bertanggungjawab
menjadi sebuah topik yang perlu menjadi sorotan utama pada masalah ini. Siswa
dan guru dituntut untuk mendapatkan nilai moral yang baik, namun apakah
terealisasi di lapangan? Hampir setiap tahun dunia pendidikan mendengarkan
kebocoran soal atau pelaksanaan ujian yang tidak sesuai dengan harapan.
Lebih-lebih cara yang digunakan beberapa oknum siswa dan guru untuk menempuh
kesuksesan dalam Ujian Nasional layaknya mekanisme lingkaran setan koruptor.
Tersistematis dan terencana, bahkan untuk mendapatkan kunci jawaban oknum siswa
hanya membayar Rp 100.000,00 untuk satu kunci jawaban. Mungkinkah negara ini
bisa mencerdaskan kehidupan bangsa jika Ujian Nasional tetap menjadi ajang
retorika belaka?
Sudah
lama beberapa kalangan akademisi pendidikan tidak mensetujui adanya ujian ini, namun,
mengapa hingga saat ini pemerintah bersikukuh untuk tetap mempertahankannya?
Pada
pasal 8 Bagian ketiga hak dan kewajiban masyarakat Undang-Undang No. 20 tahun
2003 tentang sisdiknas disebutkan Masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan.
Jelas
kita sebagai masyarakat memiliki hak untuk merencanakan suatu sistem pendidikan
nasional yang baik, dan mengkritisi kebijakan pemerintah untuk mengevaluasi
program pendidikan. Kami, Rakyat Indonesia berharap pemerintah khususnya
Menteri Pendidikan bisa menciptakan pendidikan yang aplikatif serta
mempertimbangkan peniadaan Ujian Nasional.
0 komentar:
Posting Komentar